Sepatu Putih

Perjalanan Bandung-Lampung saya selalu dipenuhi kontemplasi, yang pada akhirnya bermuara menjadi banyak persoalan. Soal kepulangan, soal kesendirian, soal rasa takut … soal rumah.

Yang tidak saya ketahui selama ini, mungkin bukan cuma saya yang berpikir demikian. Yang tidak saya sadari selama ini, kembalinya saya ke Bandung akan dilengkapi oleh serpihan-serpihan memori yang ibu saya selipkan, jauh di belakang sana. Diam-diam. Pada berkilo-kilo jeruk yang ia bekalkan hingga bagasi saya kelebihan dua kilo, pada tatapan sendunya kala pertama kali mengantar anak bungsunya ke depan gerbang pendewasaan, pada kata-kata pedasnya saat menolak saya untuk pulang, dan juga pada sepatu putih milik saya yang diam-diam ia bersihkan dengan kedua tangannya sendiri … sebelum mengantar saya pergi.

Saya terlalu sibuk berkontemplasi soal banyak hal; kepulangan, kesendirian, rasa takut, rumah, tanpa sempat menyadari bahwa jawabannya selalu ada bersama saya. Sepatu putih itu. Yang pada akhirnya akan mengajak saya pulang ke koordinat yang selama ini saya cari-cari. Bahwa pulang dan rumah adalah tempat di mana ia merasa dispesialkan. Bahwa obat dari kesendirian dan rasa takut saya adalah terakhir kali bait-bait doa diselipkan dalam setiap usapan di atas sol karetnya. Memintanya untuk datang berkali-kali, walau harus pergi juga sama berkali-kalinya, suatu saat nanti.