24 Oktober

Setiap tanggal 24 Oktober, akan selalu ada yang hilang dari diri saya.

Saya selalu menghargai segala bentuk perasaan; marah, pilu, kecewa, haru, bahagia, apapun itu. Letupan-letupan tersebut adalah pengingat kecil soal cara memanusiakan diri dan orang-orang di sekitar saya. Dan segala bentuk pelampiasannya—sesederhana apapun itu—patut untuk selalu dirayakan.

Setiap tanggal 24 Oktober, saya akan bangun seperti biasa, cuci muka seperti biasa, menyikat gigi seperti biasa, dan memikirkan hal-hal biasa pula. Lalu datang sebuah pengingat, bentuknya rupa-rupa. Kadang lewat kalender, kadang muncul begitu saja di otak saya, atau kadang menyisipkan dirinya pada tumpukan notifikasi whatsapp. Tahun ini, pengingat tersebut memilih yang terakhir.

Kata ibu saya, jangan lupa kirim Yasin dan doa ya. Kata kakak laki-laki saya, wah udah tanggalnya ya? Kata kakak perempuan saya, ga kerasa ya udah selama itu? 20 tahun ya berarti? Berderet kata itu diketik seolah tanpa emosi, tapi saya tahu ada macam-macam perasaan yang menggantung di tiap aksaranya. Mungkin juga pengingat perasaan mereka di 24 Oktober 20 tahun lalu. Detailnya seperti apa, imajinasi saya juga tidak sampai.

Setiap tanggal 24 Oktober, semuanya seolah-olah punya kesepakatan tak tertulis soal hari muram sedunia. Seolah-olah khusus pada tanggal tersebut, kita semua boleh tidak baik-baik saja.

Setiap tanggal 24 Oktober, yang bisa saya lakukan cuma memelototi barisan huruf tersebut sampai mata saya panas. Ketik, ketik, ketik, hapus. Hapus, ketik, ketik, hapus. Hapus. Hapus. Ada spasi besar, ruang kosong, yang saya harap bisa saya isi dengan seluruh perasaan saya. Perayaan hari muram nyatanya bukan milik semua orang.

Setiap tanggal 24 Oktober, akan selalu ada yang hilang dari diri saya.